Laman

Jumat, 21 November 2014

IMPLEMENTASI UU DESA, APA YANG KITA PERBUAT?

UU Desa disusun atas inisiatif pemerintah untuk memberikan status hukum yang lebih kuat bagi desa dan memastikan alokasi anggaran pembangunan tahunan dapat disalurkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah ke desa-desa. Dengan langkah ini, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka.  Sekarang pemerintah desa dapat mengelola uangnya sendiri dan memutuskan penggunaan dana yang diberikan pemerintah.

UU No. 6/ 2014 menegaskan desa berkedudukan di wilayah kabupaten atau kota. Maknanya desa bukan lagi sebagai sub-ordinat Kabupaten/Kota.

Di sisi yang lain, UU Desa memberi peluang desa-desa di satu kecamatan bekerja sama. Kerja sama antar desa dituangkan dalam peraturan bersama kepala desa melalui kesepakatan musyawarah antar desa.
Kerjasama antar desa dilaksanakan oleh Badan Kerjasama Antar Desa yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Kepala Desa. Kerjasama dimaksud dapat meliputi pengembangan usaha bersama untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing. Bisa juga dalam kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan dan pemberdayan masyarakat antar desa atau dalam bidang keamanan dan ketertiban.
Dalam melaksanakan pembangunan antar-desa, BKAD dapat membentuk kelompok atau lembaga sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan dalam pelayanan usaha antar desa, dapat membentuk BUM Desa yang merupakan milik satu desa atau lebih.

Jadi, BPD dalam UU yang baru ini tidak lagi menjadi bagian dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD diposisikan sebagai lembaga desa yang melaksanakan fungsi pemerintahan yaitu membahas dan menyepakati Raperdes bersama Kades, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, dan melakukan pengawaaan kinerja Kades. Sedangkan LPMD didorong membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Untuk kepentingan itu, Bapermades Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai institusi pemberdayaan masyarakat dalam rangka implementasi Undang-undang Desa Nomor 6 tahun 2014 tidak kurang baiknya menyiapkan desa sejak awal guna memberikan pemahaman secara komprehensif berkait dengan diundangkannya regulasi pro-desa tersebut.

Di luar itu, tidak ada salahnya lembaga pemberdayaan ini juga menggelar pelatihan-pelatihan pelaporan dan pertanggungjawaban atas pemanfaatan dana yang tidak sedikit yang bakal mengucur ke desa melalui dana APBN.

Di samping kedua hal di atas, layak kiranya desa dan aparaturnya diberikan pelatihan menyangkut peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM), sehingga mereka memiliki daya tawat tinggi dan tidak salah langkah dalam menerjemahkan anggaran ke desa.
Kapasitas pengelola Dana Desa harus memadai agar dalam mengelola Dana Desa tidak terjadi kesalahan maupun penyelewengan. Perangkat desa harus dibekali pengetahuan dan mempunyai kualifikasi teknis di bidang pemerintahan, administrasi perkantoran, administrasi keuangan, dan perencanaan. Dalam rangka pengelolaan dan pengawasan keuangan desa yang lebih akuntabel dan transparan, maka publikasi APBDes juga perlu dilakukan.

Pelatihan tentang SDM ini bisa saja melibatkan secara terpisah maupun terintegrasi dari elemen pemerintah desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai pelaku kontrol jalannya pelaksanaan pembangunan desa dan penguatan perumusan produk regulasi desa. Jika BPD dan masyarakat berfungsi optimal sebagai pengawasan pembangunan, maka sebetulnya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dana bisa diminimalkan.

Selain lembaga-lembaga yang disebut terdahulu, nampaknya masih perlu memberikan pelatihan pula kepada lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM) dan kader pemberdayaan masyarakat (KPM) dalam kaitan dengan perencanaan pembangunan desa, pelaksanaan bahkan hingga pengembangan dan tahapan pelestarian pembangunan desa. Keduanya berkemampuan dalam menyusun perencanaan desa secara partisipatif yang tentu disusun secara mandiri dan sesuai dengan kebutuhan dasar masyarakat.

Untuk menyambut dan menyiapkan implementasi UUDesa barangkali akan lebih efektif jika dibangun forum komunikasi LPM, KPM maupun BPD pada tingkat Kabupaten/Kota sebagai media komunikasi dan berbagi atas lalulintas pendapat, pengetahuan maupun pengalaman empirik secara faktual sehingga mampu membangun gugus yang tidak saja berfungsi pada tataran konsepsi namun lebih pada ranah tawaran solusi konkret atas sebuah persoalan di setiap daerah yang mungkin saja sama tetapi pola penanganan dan metode pendekatan yang berbeda.
 

KESEJAHTERAAN

Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan telah memberikandampak yang positif pada pembangunan Jawa Tengah, pada Maret 2014, jumlah penduduk miskin Provinsi ini sebesar tidak kurang dari 4 juta jiwa (14,44%) dan besaran itu masih menggenang di wilayah pedesaan. Nampaknya penanggulangan kemiskinan bukan saja melepaskan diri dari angka-angka statistik belaka, tetapi lebih pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menunjukkan indikasi perubahan sosial dalam perubahan pola pikir dan perilaku sosial masyarakat secara mandiri.

Koneksitas UUDesa dan Jawa Tengah, nampak pada peta jalan ideal masyarakat desa yang ingin diraih melalui keduanya, yaitu Jawa Tengah yang sejahtera dan berdikari. Tantangannya adalah di satu sisi harus melakukan upaya penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar pada desa-desa merah, kuning dan hijau yang dalam versi Jateng sebagai desa miskin tinggi, sedang dan rendah.

Merujuk pada data PPLS 2011, di Jateng pada Tahun 2014 ini telah dideklarasikan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sebagai Tahun Infrastruktur. Dalam konteks ini Gubernur memberikan bantuan pada ketiga kategori desa di atas dengan kisaran 40 juta s/d 100 juta setiap desa guna membenahi kondisi sarana prasarana (infrastruktur) desa yang kurang memadai yang diharapkan mampu memperlancar lalulintas ekonomi, setidaknya masyarakat miskin desa bisa menjual hasil buminya melalui jalan, jembatan yang tidak rusak lagi.

Namun demikian, bantuan itu hanya insentif semata dan pada jangka panjangnya diekspektasikan masyarakat mampu mendayagunakan potensi SDA dan SDM lokal sebagai kail untuk mengubah wajah dan nasib desa di masa mendatang. Itulah sebagaian jalan yang telah diterapkan oleh Ganjar Pranowo sebagai media pelatihan bagi desa sebelum mengelola dana milyaran rupiah manakala UU Desa digelar.

Penyelenggaraan pemerintahan desa yang berkualitas berpotensi mendorong kesejahteraan masyarakat desa, sekaligus meningkatkan kualitas hidup di desa. Sebagai strata pemerintahan terkecil, desa memainkan peran sentral dalam agenda pembangunan Jateng dimana sebagian masyarakat miskin hidup di pedesaan. Melalui UU Desa, penyelenggara pemerintahan desa diharapkan dapat mengelola wilayahnya secara, mandiri termasuk di dalamnya pengelolaan aset, keuangan dan pendapatan desa. Barangkali inilah “beyond,” lokalitas itu sendiri.  *(Marjono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar