Analisis Penataan Kelembagaan UPK dalam Konteks Kerjasama antar Desa sesuai UU No 6 Tahun 2015 tentang Desa.
Tulisan ini dibuat untuk meyakinkan efektivitas keberadaan UPK sebagai unit kerja BKAD yang mengelola kegiatan dana bergulir. Selain itu, tulisan ini dibuat untuk mensikapi adanya wacana menjadikan UPK sebagai badan usaha lain, yang bertentangan dengan aspek kesejarahan dan kebijakan yang telah dikeluarkan.
1. Latar Belakang Masalah.
UPK adalah lembaga pengelola kegiatan antar desa. UPK dibentuk dan dikembangkan melalui PNPM Mandiri Perdesaan (sebelumnya PPK). Saat ini UPK berdiri hampir 5000 kecamatan, mengelola dana masyarakat kurang lebih 10,7 trilyun rupiah. Kepemilikan asset yang dikelola oleh UPK adalah masyarakat dan merupakan kepemilikan aset kolektif masyarakat Desa-Desa dalam rangka kerjasama antar Desa. Secara organisasi UPK adalah unit kerja di bawah naungan BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa). Kedudukan BKAD saat ini tertuang dalam UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa (sebelumnya merupakan amanat PP 72 tahun 2005 Tentang Desa). Dengan demikian kedudukan UPK sebenarnya sudah cukup kuat.
Payung hukum UPK terkait dengan kebutuhan perlindungan dan pelestarian aset, sistem, serta manfaat layanan UPK bagi masyarakat. Kebijakan payung hukum UPK juga terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan serta sudah dijalankan di lapangan bahwa UPK adalah unit kerja pelaksana mandat BKAD. Payung hukum UPK diletakkan dalam kaitan kedudukan UPK yang secara organisatoris di bawah naungan organisasi kerja BKAD. Saat ini sebagian besar UPK telah dipayungi melalui produk hukum daerah.
Lahirnya BKAD sebenarnya telah menuntaskan problem kelembagaan UPK. UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan pendasaran legal terhadap kelembagaan UPK dalam naungan BKAD. Terlebih ketika banyak daerah menjadikan UU tersebut sebagai konsideran atas terbitnya Perda Kerjasama Desa dan Perbup BKAD – UPK.
Penguatan aspek legal UPK dalam konteks kelembagaan seperti di atas dirasakan belum cukup oleh beberapa pihak, hal ini didasarkan pada kebutuhan terhadap perlindungan status kepemilikan aset serta pendasaran legal terhadap kegiatan dana bergulir. Pemerintah diharapkan konsisten dengan kedudukan desa sebagaimana UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa termasuk pengakuan (kebijakan) terhadap hak kepemilikan komunal (tidak hanya kepemilikan privat dan publik) dengan menempatkan Desa (Kepala Desa) sebagai subyek hukum yang merepresentasikan kepemilikan komunal (aset bersama). Dibutuhkan konsistensi terhadap derivasi kerjasama desa sebagaimana UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dan digunakan oleh daerah sebagai pendasaran legal kepemilikan aset, kegiatan, serta kelembagaan dana bergulir dalam kontek kerjasama antar desa.
Analisis masalah dalam tulisan ini dibatasi pada “Analisis Penataan Kelembagaan UPK dalam Konteks Kerjasama antar Desa”. Mengacu dan mempedomani kebijakan yang telah dikeluarkan (Surat edaran MENDAGRI No: 414.2/1402/PMD TAHUN 2006; tentang Pelestarian dan pengembangan hasil-hasil PPK dan perlunya membentuk badan kerjasama antar desa) serta Juknis Pengakhiran PNPM Mandiri Perdesaan yang dikeluarkan melalui Surat Dirjen PPMD No 134/DPPMD/VII/2015 tertanggal 13 Juli 2015.
2. Analisis Kebijakan Kelembagaan UPK
Kebijakan Program terkait dengan bangunan kelembagaan UPK setidaknya dapat dilihat dari 3 struktur kelembagaan yang berfungsi mengamankan 3 prinsip organisasi partisipatif, yakni status kepemilikan asset berada di tangan masyarakat, mekanisme partisipatif tetap terjaga, serta kewenangan para pihak dapat didefinisikan untuk mencapai tujuan organisasi.
Struktur kelembagaan UPK dibangun melalui 3 strategi yaitu:
1- Penguatan aspek fungsional organisasi melalui perumusan, penyusunan, penetapan SOP UPK secara partisipatif (melibatkan stake holder UPK).
2- Penguatan aspek aturan dasar organisasi melalui perumusan, penyusunan, penetapan Statuta UPK secara partisipatif dalam kerangka organisasi Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD).
3- Penguatan Payung Hukum UPK melalui fasilitasi produk hukum daerah berupa peraturan daerah, peraturan Bupati maupun penetapan SK Kepala Daerah.
2- Penguatan aspek aturan dasar organisasi melalui perumusan, penyusunan, penetapan Statuta UPK secara partisipatif dalam kerangka organisasi Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD).
3- Penguatan Payung Hukum UPK melalui fasilitasi produk hukum daerah berupa peraturan daerah, peraturan Bupati maupun penetapan SK Kepala Daerah.
Dengan 3 strategi ini maka bangunan kelembagaan UPK dapat menjawab kebutuhan fungsi dan struktur sekaligus, artinya dengan strategi ini tujuan yang ingin dicapai melalui 3 prinsip organisasi partisipatif dapat diwujudkan. Hal yang berkaitan dengan penetapan peraturan UPK pada dasarnya harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan 3 prinsip dasar yaitu :
1). Aspek Filosofis; menggambarkan nilai program PNPM Mandiri Perdesaan yang telah terinternalisir dalam organisasi UPK dan masyarakat misalnya akuntabilitas, partisipasi, kerjasama, transparansi, sejauh mana daya pelembagaannya. Argumentasi yang dibangun harus membuktikan bahwa kebutuhan peraturan UPK memenuhi aspek filosofis itu.
2).Aspek Yuridis; ketentuan peraturan yang menjadi acuan, sekalipun mempunyai kewenangan pembuatan (yuridis formal), seharusnya peraturan yang disusun memperhatikan isi peraturan (yuridis material) apakah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih atas, dan apakah peraturan lain yang berkaitan telah dimasukkan.
3). Aspek Sosiologis; apakah peraturan telah disusun memperhatikan semua hal (terkait dengan kebijakan program) yang telah berjalan di masyarakat, situasi dan kondisi masyarakat, kesiapan masyarakat dalam menerima dan mengimplementasikan produk hukum baru. Hal ini merupakan kajian efektifitas kebutuhan produk hukum baru.
Kebijakan ini telah menjelaskan 2 aspek kelembagaan UPK, yakni aspek fungsional (melekat secara internal di UPK) dan aspek kelembagaan (payung hukum dan statuta) yang melekat pada organisasi Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD). Hal ini diharapkan telah menuntaskan debat tentang masa depan UPK. Selain itu argumentasi tentang kebutuhan peraturan baru UPK perlu secara tajam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang memang benar-benar dibutuhkan, karena evaluasi terhadap implementasi kebijakan UPK sebelumnya menunjukkan perkembangan yang memadai atas kinerja dan kapasitas lembaga.
Seharusnya kebijakan baru yang dibuat mempertimbangkan kebijakan sebelumnya yang telah berjalan. Hal ini selaras dengan pendapat Merilee S. Grindle (1980), bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks implementasinya). Demikian juga menurut Richard Matland (1995) yang mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model Matriks.
Pada prinsispnya ‘Matrik Matland’ memiliki “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu: Ketepatan Kebijakan, Ketepatan Pelaksanaan, Ketepatan Target, Ketepatan Lingkungan. Argumen-argumen ini juga digunakan terkait rencana formulasi kebijakan UPK dikaitkan dengan UU Lembaga Keuangan Mikro. Pertanyaan kritisnya adalah apakah UU LKM diterbitkan mengakomodasi pengalaman praktik kegiatan dana bergulir UPK selama ini?, apakah UU LKM mempunyai kesesuaian konteks dan konten dengan kelembagaan UPK ?.
3. Analisis Masalah Lapangan
Analisis ini dibuat menggunakan analisis motif kebutuhan dikaitkan dengan isu-isu kritis yang berkembang pada sebagian lokasi. Seringkali isu lokal ini digunakan sebagai pendasaran asumstif. Asumsi dari lapangan yang berkembang tentang kebutuhan payung hukum sekurang-kurangnya ada 3, yakni motif permasalahan karena pelanggaran pelaku dan motif peluang pengembangan.
a). Payung hukum dan pelanggaran pelaku.
Jika beberapa pengurus UPK melakukan tindakan yang melanggar aturan main program. (Tindakan melanggar aturan main program termasuk pelanggaran prinsipal, menyangkut pelanggaran kontrak para pihak, lihat teori agensi). Bentuk pelanggaran itu antara lain (kasus) pengambilan sepihak kepemilikan asset/inventaris, misalokasi anggaran kegiatan UPK, pelanggaran mekanisme keputusan partisipatif, kegagalan menterjemahkan mandat dan kewenangan pengurus.
Jika beberapa pengurus UPK melakukan tindakan yang melanggar aturan main program. (Tindakan melanggar aturan main program termasuk pelanggaran prinsipal, menyangkut pelanggaran kontrak para pihak, lihat teori agensi). Bentuk pelanggaran itu antara lain (kasus) pengambilan sepihak kepemilikan asset/inventaris, misalokasi anggaran kegiatan UPK, pelanggaran mekanisme keputusan partisipatif, kegagalan menterjemahkan mandat dan kewenangan pengurus.
Hampir semua laporan tentang permasalahan UPK yang berimplikasi terhadap kebutuhan perlindungan/payung hukum selalu didasari permasalahan yang bersifat internal karena pelanggaran aturan main pelaku. Belum ditemukan adanya laporan mengenai ancaman eksternal yang faktual terhadap UPK beserta aturan main yang melengkapi, misalnya ada lembaga yang akan mengakuisisi UPK.
Pernyataan bahwa payung hukum dapat menjawab kebutuhan agar perilaku melanggar aturan main program menghilang adalah bias dan menyesatkan. Justru berfungsinya suatu sistem tidak bisa didekati hanya dengan menerbitkan peraturan yang bersifat top down. Badan hukum koperasi adalah contoh dimana pendekatan formal-legalistik tidak cukup tangkas memagari institusi dari perilaku mengambil untung para pengurusnya.
Talcott Parson justru menawarkan pendekatan revitalisasi sistem organisasi agar berfungsi secara utuh mencakup aspek kemampuan adaptasi organisasi, integrasi hubungan antar fungsi, tujuan organisasi, dan penanaman nilai organisasi (George Ritzer, Douglas J. Goodman, 2008). Keempat pendekatan itu lebih mengedepankan aspek fungsionalisasi organisasi sebagai jalan keluar ancaman moral hazard pengurus organisasi. Motif permasalahan karena andanya pelanggaran pelaku sebagai dorongan kebutuhan adanya payung hukum secara teoritis dan pengalaman lapangan kurang berdasar.
Jika terjadi pelanggaran mendasar, misalnya ada perubahan status kepemilikan asset, penyelewengan mandat masyarakat, dan pengambilan kewenangan secara sepihak hal itu perlu dipelajari lebih teliti. Ketiga pelanggaran ini dapat diberikan contoh sebagai berikut, berubahnya asset masyarakat menjadi asset personal, berubahnya mandat masyarakat ke mandat pengurus, berubahnya kewenangan berbasis aturan main menjadi kewenangan yang diselewengkan.
Perubahan kepemilikan asset, perubahan mekanisme, perubahan mandat dan kewenangan, jika itu terjadi dalam beberapa situasi, dapat dijawab dengan pendekatan regulasi. Hanya pertanyaannya regulasi seperti apa, pada level atau jenjang mana peraturan itu dikeluarkan. Keluarnya peraturan ini lebih sebagai penguat terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan.
b). Payung Hukum Dan Peluang Kerjasama.
Adanya pandangan dan opini bahwa peluang bagi pengembangan UPK (kerjasama pihak ketiga, CSR), hanya bisa dijawab dengan payung hukum. Opini ini jika dipahami secara dogmatis, akan menimbulkan kegagalan motivasi UPK untuk mencari dan menjalani rute sesuai kemampuan yang dimiliki. Rute itu dijalani dalam bentuk kerja fasilitasi dan bukannya sesuatu yang didapat tanpa kerja keras.
Adanya pandangan dan opini bahwa peluang bagi pengembangan UPK (kerjasama pihak ketiga, CSR), hanya bisa dijawab dengan payung hukum. Opini ini jika dipahami secara dogmatis, akan menimbulkan kegagalan motivasi UPK untuk mencari dan menjalani rute sesuai kemampuan yang dimiliki. Rute itu dijalani dalam bentuk kerja fasilitasi dan bukannya sesuatu yang didapat tanpa kerja keras.
Kebutuhan payung hukum dapat menjadi pernyataan atas kegagalan membangun spirit kerja fasilitasi yang laten/berulang. Peluang dapat didekati dengan analisis SWOT, jika kerjasama dengan pihak ketiga adalah peluang yang tidak terbantahkan, maka identifikasi terhadap kekuatan dan kelemahan organisasi menjadi dasar rasionalitas yang harus dilakukan untuk menangkap peluang itu.
Peluang kerjasama harusnya diletakkan dalam rute yang bertahap. UPK yang matang dalam menjalin kerjasama harusnya mempunyai cara untuk menunjukkan diri tentang kematangan internal (adaptasi, tujuan, integrasi fungsi, dan latensi) dan kematangan kerjasama (dimulai dari tingkat pemula, tingkat siap, dan tingkat mandiri). Payung hukum mungkin dibutuhkan jika pola kerjasama sampai tingkat mandiri (dimana pihak ke-2 selain mensyaratkan kematangan internal juga mensyaratkan aspek payung hukum organisasi). Pihak ke-2 yang merespon tawaran kerjasama dengan UPK hanya mensyaratkan payung hukum UPK serta mengabaikan kematangan internal organisasi berarti tidak bisa menghitung resiko kerjasama.
Argumentasi ini didukung adanya fakta perkembangan kerjasama dengan pihak ketiga secara nasional yang menunjukkan kinerja dan kapasitas kelembagaan antar desa mampu melakukan kerjasama dengan pihak ketiga. Secara nasional justru saat ini telah terjalin banyak pola kerjasama kelembagaan antar desa dengan pihak ketiga. Hal ini membuktikan bahwa secara kelembagaan, implementasi kebijakan penataan kelembagaan antar desa melalui program telah mampu membangun trust dan sinergi dengan pihak ketiga.
*** Kesimpulan :
Motif permasalahan karena pelanggaran pelaku sebagai dorongan kebutuhan adanya payung hukum secara teoritis dan pengalaman kurang tepat. Kondisi phase out sebagai dorongan kebutuhan adanya penguatan payung hukum baru dapat diterima akan tetapi mensyaratkan adanya 3 kondisi berupa adanya indikasi berbahaya yaitu perubahan kepemilikan asset, perubahan mekanisme, serta perubahan mandat dan kewenangan, padahal ketiganya belum ditemukan. Keluarnya peraturan ini lebih sebagai penguat terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan.
Motif peluang sebagai pendorong kebutuhan payung hukum dibutuhkan jika pola kerjasama sampai tingkat mandiri/tahap ke-3 dari pola kerjasama, dimana pihak ke-2 selain mensyaratkan kematangan internal juga aspek payung hukum organisasi. Pihak ke-2 yang merespon tawaran kerjasama dengan UPK hanya mensyaratkan payung hukum UPK (mengabaikan aspek kekuatan fungsional dan aturan dasar/statuta organisasi berarti tidak bisa menghitung resiko kerjasama).
Motif peluang sebagai pendorong kebutuhan payung hukum dibutuhkan jika pola kerjasama sampai tingkat mandiri/tahap ke-3 dari pola kerjasama, dimana pihak ke-2 selain mensyaratkan kematangan internal juga aspek payung hukum organisasi. Pihak ke-2 yang merespon tawaran kerjasama dengan UPK hanya mensyaratkan payung hukum UPK (mengabaikan aspek kekuatan fungsional dan aturan dasar/statuta organisasi berarti tidak bisa menghitung resiko kerjasama).
Rekomendasi :
Hasil kegiatan program berupa dana bergulir/revolving fund perlu dipertegas mengenai status kepemilikan asset. Perspektif yang menempatkan asset desa berasal dari hibah Pemerintah, sebenarnya menempatkan status kepemilikan asset dana bergulir sebagai asset (masyarakat) desa. Desa kemudian menjadikan asset ini sebagai modal penyertaan pada kegiatan dana bergulir antar desa yang dikelola oleh UPK. Ketika desa-desa bersepakat membentuk BKAD yang menaungi lembaga UPK, maka modal penyertaan desa di dalam kegiatan dana bergulir antar desa sejalan dengan perspektif asset dana bergulir sebagai asset hibah Pemerintah kepada desa yang ditempatkan sebagai modal penyertaan desa kepada kegiatan antar desa (BKAD-UPK).
Jika kedudukan kepemilikan atas aset bersama membutuhkan persyaratan (legalitas) besaran sharing Desa-Desa, maka treatment pengembangan status kepemilikan asset desa pada kegiatan dana bergulir antar desa ke depan perlu memperhatikan besaran sharing desa pada modal yang dikelola UPK serta performance desa dalam mendukung sehatnya pengelolaan dana bergulir. Sharing desa diukur dari besarnya kontribusi modal penyertaan awal desa, yang sebenarnya menjadi cerminan obligasi masyarakat desa bersangkutan pada saat memutuskan usulan yang diajukan pada MAD prioritas usulan. Performance desa diukur dari komitmen dan upaya yang dilakukan desa sehingga desa bersangkutan senantiasa mengembalikan pinjaman kepada UPK tepat waktu (sesuai prosedur). Perhatian yang diberikan oleh BKAD-UPK dilakukan melalui musyawarah antar desa untuk memutuskan bentuk-bentuk fasilitas khusus yang menarik bagi desa. Gagasan pengembangan ini dapat memotivasi desa-desa agar memiliki performance yang baik pula.
Lahirnya BKAD telah menuntaskan problem kelembagaan UPK. UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan pendasaran legal terhadap kelembagaan UPK dalam naungan BKAD. Akan tetapi penguatan aspek legal UPK dalam konteks kelembagaan saja dirasakan belum memadai, hal ini didasarkan pada kebutuhan terhadap perlindungan status kepemilikan aset serta pendasaran legal terhadap kegiatan dana bergulir melalui Peraturan Bersama Desa-Desa dalam rangka Kerjasama antar Desa.
Hal lain yang perlu direkomendasikan adalah:
1- Treatment baru UPK sebaiknya lebih kepada peningkatan kualitas pelayanan, kualitas kinerja, berkembangnya kapasitas. Ketiga hal itu merupakan unsur pembangun kepercayaan masyarakat. Bentuk-bentuk treatment misalnya standar pelayanan, sistem informasi manajemen, pengembangan skem kredit dan usaha/portofolio investasi, SOP, visi, misi, nilai dan budaya organisasi.
2- Payung hukum UPK dalam bentuk produk hukum daerah (Perda, SK Bupati) serta legitimasi kegiatan, kelembagaan, kepemilikan atas aset dana bergulir melalui peraturan bersama Desa-Desa dalam rangka Kerjasama antar Desa perlu memperhatikan bangunan kelembagaan yang ditetapkan. Peraturan yang disusun menjawab kebutuhan fungsi dan struktur sekaligus. Secara struktur mempunyai daya mengamankan 3 prinsip organisasi partisipatif secara lebih baik, yakni status kepemilikan asset berada di tangan masyarakat, mekanisme partisipatif tetap terjaga, serta kewenangan para pihak dapat didefinisikan untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan secara fungsi mampu mendorong para pihak untuk makin meningkatkan strategi dan implementasi pengembangan fungsi (kemampuan adaptasi, tujuan, integrasi antar bagian, dan latensi fungsi).
3- Dengan memperhatikan peraturan, pengalaman proses perkembangan UPK, dan kebutuhan pengembangan UPK ke depan, maka badan hukum UPK tidak diperlukan saat ini. Untuk efisiensi dan efektifitasnya, fasilitasi terhadap payung hukum (bukan badan hukum) dilakukan setelah AD/ART BKAD, SOP UPK serta SOP BP-UPK ditetapkan oleh MAD.
4- UPK sejak awal dibentuk sebagai lembaga yang mengelola kegiatan di tingkat antar desa. Keberadaannya strategis, karena menempati posisi yang paling kuat sebagai lembaga milik masyarakat antar desa. Posisioning UPK seperti saat ini justru sudah tepat dan kuat, kedudukannya menjadi penyeimbang kepentingan desa dan daerah serta dapat terhindar dari kooptasi yang akan menggeser kepentingan masyarakat. Secara historis UPK dibentuk, berjalan dan berkembang juga atas dasar keputusan desa-desa dalam musyawarah antar desa.
5- UPK sebagai unit kerja dalam naungan BKAD secara kelembagaan telah berjalan, baik dari segi kinerja mapun kapasitasnya, terbukti dari perkembangan kerjasama dengan pihak ketiga, hal ini menunjukkan berkembangnya trust dan sinergi dengan pihak lain, dari basis konsep dan kebijakan kerjasama antar desa.
6- UPK adalah lembaga pengelola dana program sekaligus mengelola dana bergulir. Wacana pemisahan fungsi ini tidak jelas, justru dua fungsi ini saling mendukung dan memperkuat. UPK pada umumnya juga telah menjalankan fungsi-fungsi ini dengan baik.
7- UPK adalah unit kerja dalam naungan Badan Kerjasama Antar Desa. UPK mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat melalui rapat tertinggi BKAD yakni MAD. BKAD dalam kaitan UPK harus mampu merumuskan rencana strategis pengembangan/bussines plan, mampu mengawasi dan menindaklanjuti hasil pengawasan, serta mampu mengevaluasi kinerja UPK.
8- BKAD dibentuk tidak hanya dalam kaitan UPK. BKAD dibentuk untuk peran yang lebih luas menyangkut mengorganisir perencanaan dan pelaksanaan pembangunan partisipatif, mengembangkan bentuk-bentuk kerjasama antar desa, mengembangkan aset produktif masyarakat non dana bergulir, mengorganisir pelaku dan lembaga antar desa, melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dsb.
_______________________________
_______________________________
Oleh : Lendy Wibowo
Daftar Pustaka
Riant Nugroho DR, 2002, Public Policy, PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Erani Yustika DR, 2008, Ekonomi Kelembagaan, Bayu Media, Malang
Randy W, Riant Nugroho, 2006, Manaj Pembangunan Indonesia, PT Elex Media Komputindo, Jkt
Subarsono, 2009, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Joko Widodo, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Bayu Media, Malang
Irtanto, 2008, Dinamika Politik Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
JJ Rousseau, 2007, Du Contract Social, Visi Media, Jakarta
Widjajono Partowidagdo, 1999, Memahami Analisis Kebijakan, Pasca Sarjana ITB, Bandung
Anthony Giddens, 2010, Teori Strukturasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
James S Colleman, 2010, Dasar-Dasar Teori Sosial, Nusa Media, Bandung
2009, Himpunan Peraturan, Depdagri, Jakarta
Erani Yustika DR, 2008, Ekonomi Kelembagaan, Bayu Media, Malang
Randy W, Riant Nugroho, 2006, Manaj Pembangunan Indonesia, PT Elex Media Komputindo, Jkt
Subarsono, 2009, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Joko Widodo, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Bayu Media, Malang
Irtanto, 2008, Dinamika Politik Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
JJ Rousseau, 2007, Du Contract Social, Visi Media, Jakarta
Widjajono Partowidagdo, 1999, Memahami Analisis Kebijakan, Pasca Sarjana ITB, Bandung
Anthony Giddens, 2010, Teori Strukturasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
James S Colleman, 2010, Dasar-Dasar Teori Sosial, Nusa Media, Bandung
2009, Himpunan Peraturan, Depdagri, Jakarta
Referensi Peraturan dan Kebijakan:
UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
PP 72 Tahun 2005 Tentang Desa
PP 73 Tahun 2005 Tentang Kelurahan
Perpres 13 Tahun 2009 Tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Permendagri 5 Tahun 2007 Tentang Penataan Lembaga Kemasyarakatan
Permendagri 16 Tahun 2006 Tentang Produk Hukum Daerah
Permendagri 29 Tahun 2006 Tentang Penyusunan Peraturan Desa
Permendagri 30 Tahun 2006 Tentang Penyerahan Urusan daerah Kepada Desa
Pedoman Umum PNPM Mandiri Tahun 2007
PTO PNPM Mandiri Perdesaan
Penjelasan XI PTO tentang Penataan Kelembagaan
Panduan Penataan Kelembagaan Tahun 2006
Surat edaran MENDAGRI No: 414.2/1402/PMD TAHUN 2006; tentang Pelestarian dan pengembangan hasil-hasil PPK dan perlunya membentuk badan kerjasama antar desa).
PP 72 Tahun 2005 Tentang Desa
PP 73 Tahun 2005 Tentang Kelurahan
Perpres 13 Tahun 2009 Tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Permendagri 5 Tahun 2007 Tentang Penataan Lembaga Kemasyarakatan
Permendagri 16 Tahun 2006 Tentang Produk Hukum Daerah
Permendagri 29 Tahun 2006 Tentang Penyusunan Peraturan Desa
Permendagri 30 Tahun 2006 Tentang Penyerahan Urusan daerah Kepada Desa
Pedoman Umum PNPM Mandiri Tahun 2007
PTO PNPM Mandiri Perdesaan
Penjelasan XI PTO tentang Penataan Kelembagaan
Panduan Penataan Kelembagaan Tahun 2006
Surat edaran MENDAGRI No: 414.2/1402/PMD TAHUN 2006; tentang Pelestarian dan pengembangan hasil-hasil PPK dan perlunya membentuk badan kerjasama antar desa).